BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arti Pendidikan menurut UU RI No. 20 Tentang Sistem Pendidikan Tahun
2003 : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
Hasbullah menerangkan bahwa dalam artian sederhana pendidikan sering
diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan
nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan, atau disebut juga penanaman
nilai-nilai (transfer of values).
Para ahli filsafat pendidikan, menyatakan bahwa dalam merumuskan
pengertian pendidikan sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan terhadap
manusia, hakikat, sifat-sifat atau karakteristik dan tujuan hidup manusia itu
sendiri. Perumusan pendidikan tergantung kepada pandangan hidupnya. Apakah
manusia dilihat sebagai kesatuan badan dan jasmani, jiwa dan roh atau jasmani
dan rohani? Pertanyaan-pertanyaan diatas, memerlukan jawaban yang
menentukan pandangan terhadap hakikat dan tujuan pendidikan, dan dari sini juga
sebagai pangkal perbedaan rumusan pendidikan atau timbulnya aliran-aliran
pendidikan seperti, pendidikan Islam, Kristen, Liberal, progresif atau pragmatis,
komunis, demokratis dan lain-lain. Dengan demikian, terdapat keanekaragaman
pandangan tentang pendidikan. Tetapi dalam keanekaragaman pandangan tentang
pendidikan terdapat titik persamaan tentang pengertian pendidikan, yaitu
pendidikan dilihat sebagai suatu proses mengarahkan kepada sesuatu aspek
perkembangan seseorang sesuai dengan nilai-nilai yang merupakan jawaban atas
pertanyaan diatas. Maka, proses pendidikan hanya berlaku pada makhluk manusia
tidak pada hewan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Integral
Adapun pengertian dari Pendidikan integral adalah sistem pendidikan.
memadukan intelektual, moral dan spiritual. Bisa juga pendidikan integral adalah
sebuah pendidikan yang mencakup diri manusia antara jasmani dan rohani.
. Sekolah integral berarti sekolah yang pengelolaannya melibatkan komponen
pendidikan secara menyeluruh. Komponen pendidikan tersebut meliputi institusi
pendidikan, materi, pembelajaran berupa transfer ilmu dan uswah (suri tauladan),
pendekatan dan metodologi pengajaran, murid serta lingkungan sekolah. Sekolah
yang mempunyai program integral identik dengan peran tauhid dalam
pembelajaran. Dalam proses pendidikan yang paling penting adalah bertauhid,
tidak mempersekutukan allah dengan segala sesuatu apapun. Tauhid sebagai cara
pandang terhadap kehidupan, tauhid sebagai acuan tujuan hidup. Apabila tauhid
tidak tertanam dalam proses pendidikan, maka apapun yang dilakukan, profesi
apa yang dikerjakan, ilmu apa yang dikuasai dan teknologi yang digunakan tidak
tauhid, dan bertujuan untuk menjadikan manusia yang mengabdikan diri kepada
allah dalam arti yang seluas-luasnya., dengan misi mencari kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat.
Suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah bahwa dunia ini merupakan
jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu, mempersiapkan diri secara utuh
merupakan hal yang tidak dapat dielakkan agar masa kehidupan di dunia ini benar
terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat dalam kehidupan harus diabdikan
untuk mencapai kelayakan kelayakan itu terutama dengan mematuhi keinginan
Tuhan. Allah Swt Berfirman :
Æ÷tGö/$#ur !$yJ‹Ïù š9t?#uä ª!$# u‘#¤$!$# notÅzFy$# (
Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u‹÷R‘‰9$# (
Artinya :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
kampung akhirat, dan janganlah kanu melupakan kebahagiaanmu dari
kenikmatan duniawi...” (QS. Al Qoshosh: 77).
Ayat ini menunjukkan kepada prinsip integritas di mana diri dan segala yang
ada padanya dikembangkan pada satu arah, yakni kebajikan dalam rangka
pengabdian kepada Tuhan.
Pendidikan integral dapat dicontohkan, model pendidikan KH. Imam
Zarkasyi. Yaitu santri itu harus dibekali pengetahuan dasar tentang Islam (ulum
al-syariyyah), tapi juga diajari ilmu pengetahuan “umum” (ulum naqliyyah atau
ulum kauniyyah).
Ketika Pesantren dengan kriteria seperti itu benar-benar berdiri tahun 1936,
masyarakat lalu menyebutnya Pondok Modern. Nama yang melekat dengan nama
aslinya Darussalam.
Dari inspirasi dan gagasan itu otomatis ide tentang integrasi ilmu pengetahuan
sudah termasuk. Maka ketika kunjungannya ke Gontor Presiden Soeharto
bertanya kepada KH. Imam Zarkasyi berapa persen pelajaran agama dan umum di
sebenarnya tidak ada prosentasi agama dan umum dalam Islam. Semua ilmu
adalah untuk ibadah.
Wajah pendidikan Islam pada waktu itu memang dikotomis. Disatu sisi sistim
pendidikan penjajah sama sekali tidak mengajarkan ilmu agama. Di sisi lain
sistem pendidikan pesantren mengharamkan ilmu pengetahuan “umum”. Untuk
itu, sistim pesantren tradisional digabung sistem madrasah. Sistem pesantren
efektif untuk membentuk mental dan moralitas santri dengan nilai-nilai agama.
Sedangkan sistim madrasah efektif untuk pembelajaran. Sistem klasikalnya
dengan jenjang-jenjang kelas serta tahun kelulusan menawarkan efisiensi waktu.
Ini berbeda dengan pesantren tradisional yang berprinsip belajar seumur hidup.
Sistim belajar seperti ini, maksudnya sistim madrasah dalam pesantren, menurut
Prof Dr Mukti Ali suatu ketika adalah sistim belajar paling efektif.
Integrasi hanyalah sarana namun obsesi KH Imam Zarkasyi lebh jauh. Ia
ternyata terinspirasi oleh gagasan Islamic revival-nya Jamaluddin al-Afghani di
Mesir dan Sir Syed Ahmad Khan di India, meski berbeda cara. Dia tidak percaya
bahwa politik adalah solusi utama. Yang ia yakini justru pendidikan. “Politik saya
adalah politik pendidikan”, katanya suatu ketika. Maka dari itu ia tidak
mengarahkan santrinya untuk menjadi pengusaha, pegawai, pejabat, dan bahkan
Kini sistem pendidikan pesantren yang integral antara madrasah dan pesantren
tradisional itu masih terus bertahan hingga kini. Alumninya banyak yang
membawa pulang sistim itu keseluruh penjuru Indonesia. Dan kini pesantren
alumninya itu telah menghasilkan alumni-alumni pula. Dengan sistem integral
tersebut alumninya banyak menonjol di bidang masing-masing.
B.
Pendidikan Integral Versus Dikotomi Pendidikan
Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua
sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi
fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual,
dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim
itu sendiri (split personality). Bagi al- Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius
dan kultural.
Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka dikotomi pendidikan Islam adalah
dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan
umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dualisme
Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan
pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kqffah
(menyeluruh). Meskipun dikotomi ini adalah problem kontemporer namun
keberadaannya tentu tidak lepas dari proses historisitas yang panjang sehingga
bisa muncul sekarang ini.
Secara historis, pendidikan di Indonesia pada abad 20 M, terpecah menjadi
dua golongan, yaitu, pertama, pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah
barat yang sekuler yang tak mengenal agama. Kedua, pendidikan yang diberikan
oleh pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja. Menurut istilah
Wirjosukarto pada periode tersebut terdapat dua corak pendidikan, yaitu corak
lama yang berpusat di pondok pesantren dan corak baru dari perguruan (sekolah-
Sistem pendidikan belanda memang betul dapat memberikan bekal
pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh zaman,
akan tetapi jiwanya kerdil, dan dikotomis kareana tidak memiliki landasan iman
dan aklaq yangm mulia. Disisi lain pendidikan pesantren dan madrasah memang
betul memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia, namun tidak memberikan
bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi dan keterampilan yang memenuhi
kebutuhan masyarakat sekarang.
Problematika Pendidikan Agama Islam (PAI) masuk ke dalam kurikulum
pendidikan nasional dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Hal ini
dimaksudkan untuk pembaharuan pendidikan Islam guna kemajuan di tingkat
pendidikan Islam.
Tercakupnya pendidikan Islam dalam konstelasi kebijakan pendidikan
nasional ini diindikasikan dari beberapa segi :
Pertama, segi konstitusi. Bahwa secara konstitusional pendidikan Islam
dilegitimasi oleh kebijakan nasional yang berlaku, seperti sila pertama pancasila,
UUD 1945 pasal 29, UU nomor 4 tahun 1950 tentang pendidikan agama, SKB
menteri PP dan K dan menteri agama nomor 1432/kab, tanggal 20 januari 1951
(agama) tentang peraturan pendidikan agama di sekolah-sekolah. TAP MPR pasal
4 nomor XXVII/MPRS/1966 tentang tujuan pendidikan, TAP MPR No.
IV/MPR/1973 dan 1978 (GBHN) tentang dimasukkannya pendidikan agama
Kedua, segi institusi. Bahwa lembaga pendidikan yang tertua dan berakar
secara nasional, bahkan sebelum kolonialisme bangsa eropa, adalah pesantren dan
sejenisnya. Hingga kini pesantren menjadi bagian integral lembaga pendidikan
Islam bagi umat Islam di Indonesia.
Ketiga, segi sosial. Bahwa komposisi penduduk di Indonesia lebih dari 90%
adalah umat Islam, sehingga dominan dalam membentuk budaya bangsa, dan
memiliki kontribusi yang signifikan bagi pendidikan umat.
Pendidikan Islam sebagai sub system pendidikan nasional di maksud, dalam
praktiknya secara birokratik dapat mengarah pada dualisme pendidikan dan
dikotomi ilmu, sebab di satu pihak kebijakan pendidikan pada umumnya
ditangani oleh Dinas Pendidikan (Diknas), dan dipihak lain pendidikan agama
BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa pembahasan yang telah
dikemukakan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwasanya pendidikan
bernafaskan Islami yang ada di Indonesia yang dikelola oleh KEMENAG ini dapat
dikatakan belum sepadan hasilnya dengan Pendidikan Umum yang dikelola oleh
KEMENDIKBUD dalam hal pengetahuan berbasis Sains dikarenakan lebih
mengedepankan perubahan perilaku (Akhlaqul Karimah) pada peserta didik, itu
bisa dilihat dari dominannya peransekolah-sekolah umum di Indonesia yang ikut
serta dalam ajang Kompetisi Sains Dunia, dll. Sedangkan, di sisi lain, Pendidikan
bernafaskan Islami ini dirasa lebih mampu untuk membentuk kader-kader bangsa
yang faham arti pentingnya sopan santun dibandingkan mereka yang berada dalam
ruang lingkup pendidikan umum.
Abd. Rachman Assegaf, 2005. Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Kurnia Kalam)
Adi Sasono, 1998. Solusi Islam Atas Problematika Umat Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah (Jakarta: Pustaka Media)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1989.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta :Balai Pustaka )
John M. Echols dan Hassan Shadily, "dichotomy",
1992. Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta : PT.
Gramedia Utama)
M. Dahlan, 1994. Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya ; Arkola)
Muhaimin, 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya:Pustaka Pelajar)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
[1]Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1
[4]Adi Sasono, Solusi Islam Atas Problematika Umat Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah (1998) h. 140
Gramedia Utama, 1992), 180
[6]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "dikotomi", Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta :Balai Pustaka, 1989), 205
[8] Abd. Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Kurnia Kalam, 2005), 6
0 komentar:
Posting Komentar