BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
kehidupan sehari-hari sering dijumpai, bahwa tata cara mwmberikan lebih penting
dari sesuatu yang diberikan itu sendiri. Semangkok teh pahit dan sepotong ubi
goreng yang disajikan dengn cara sopan, ramah dan tanpa sikap yang dibuat-buat,
akan lebih terasa enak dicicipi.
Dalam
konteks ini tata cara atau metode lebih penting dari materi, yang dalam Bahasa
Arab dikenal dengan Al-Thariqah Ahammu min Al-Maddah. Ungkapan ini sangat
relevan dengan kegiatan dakwah. Betapapun sempurnanya materi, lengkapnya bahan
dan aktualnya isu-isu yang disajikan,tetapi bila disampaikan dengan cara yang
sembrono, tidak sistematis dan sembarangan, akan menimbulkn kesan yang tidak
simpatik dan berujung kesia-siaan. Tetapi sebaliknya, walaupun materi kurang
sempurna, bahan sederhana dan isu-isu yang disampaikan kurang aktual, namun
disajikan dengan cara yang menarik dan menggugah, maka hasilnya akan impresif
dan melahirkan manfaat.
Dan
salam pengejawantahan ajaran Islam, tentunya diperlukan format dakwah yang
benar yang bermuarah kepada pencerdasan dan pendewasaan keagamaan, melihat
problematika umat yang dihadapi dewasa ini sangat kompleks, akan tentunya
membutuhkan pemecahannya. Untuk itu dakwah harus tampil secara aktual, faktual
dan kontektstual dalam artu relevan dan menyangkut problema yang sedang
dihadapi oleh masyarakat, kesemuanya ini dilakukan demi untuk mewujudkan khairu
ummah.
Kehadiran
makalah ini diharapkan dapat membantu memberikan landasan teori bagi
pelaksanaan dakwah. Sehingga para da’i memiliki pemahaman yang utuh dan
komprehensif terhadap aktifitas dakwah, dan mempermudah Da’i dalam mengetahui
tipologi dan klasifikasi masyarakat serta kemampuan berfikir terhadap sasaran
dakwah secara tepat. Sebab seiap sasaran atau object dakwah memiliki suatu
ciri-ciri tersendiri yang memerlukan suatu kebijakan dakwah dalam penyampaian,
baik menyangkut masalah metodologis maupun kerangka konseptualnya. Dengan
demikian, diharapkan umat akan memahami bahwa tuga dakwah baik secra individu,
maupun berorganisasi, sehingga ajaran Islam tetap membumi sebagi pegangan hidup
umat.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah Objek dakwah itu?
2. Siapa yang termaksud dalam rumpun
mad’u?
3. Apa konsep al-Qur’an dalam menyikapi
respon mad’u?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
OBJEK DAKWAH (MAD’U)
Objek Dakwah
(mad’u) adalah merupakan sasaran dakwah. Yang tertuju pada masyarakat luas,
mulai diri pribadi, keluarga, kelompok, baik yang menganut Islam maupun tidak;
dengan kata lain manusia secara keseluruhan. Sejalan dengan firman Allah,
!$tBur
y7»oYù=y™ö‘r&
žwÎ)
Zp©ù!$Ÿ2
Ĩ$¨Y=Ïj9
#ZŽÏ±o0
#\ƒÉ‹tRur
£`Å3»s9ur
uŽsYò2r&
Ĩ$¨Z9$#
Ÿw
šcqßJn=ôètƒ
ÇËÑÈ
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia
seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan,
tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui” (QS.Saba’:28).
Terkait dengan
ayat di atas memberi kejelasan bahwa dakwah itu diajukan kepada seluruh umat
manusia. Menurut pandangan Abdul Munir Mulkhan, bahwa Objek dakwah ada dua
sasaran, yaitu umat dakwah dan umat ijabah. Umat dakwah yang dimaksud adalah
masyarakat luas non Muslim, sementara umat ijabah adalah mereka yang sudah
menganut Agama Islam. Kepada manusia yang belum beragama Islam, dakwah
bertujuan untuk mengajak mereka untuk mengikuti Agama Islam ; sedangkan bagi
orang-orang yang telah beragana Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas
Iman, Islam dan Ihsan.
M. Bahari Gazali, melihat object dakwah dari tinjauan segi
psikologinya, yaitu :
1.
Sasaran
dakwah yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi sosiologisnya
berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota serta masyarakat marjinal dari kota
besar.
2.
Sasaran
dakwah yang menyangkut golongan dilihat dari segi struktur kelembagaan berupa
masyarakat dari kalangan pemerintah dan keluarga.
3.
Sasaran
dakwah yang berupa kelompok dilihat dari segi sosial kultur berupa golongan
priyayi, abangan, dan santri. Klasifikasi ini terutama dalam massyakat Jawa.[1]
4.
Sasaran
dakwah yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat
usia berupa golongan anak-anak, remaja dan dewasa.
5.
Dilihat
dari segi profesi dan pekerjaan. Berupa golongan petani, pedagang, buruh,
pegawai, dan administrator.
6.
Dilihat
dari jenis kelamin berupa golongan pria dan wanita.
7.
Golongan
masyarakat dilihat dari segi khusus berupa tuna susula, tuna karya. nara
pidana, dan sebagainya.[2]
Selain itu M. Bahri Ghazali, juga mengelompokkan mad’u berdasarkan
tipologi dan klasifikasi masyarakat, yang dibagi dalam lima tipe, yaitu:
1.
Tipe
innovator, yaitu masyarakat yang memiliki keiginan keras pada setiap fenomena
sosial yang sifatnya membangun, bersifat agresif dan tergolong memiliki
kemampuan antisipatif dalam setiap langkah.
2.
Tipe
pelopor, yaitu masyarakat yang selektif dalam menerima pembaharuan dalam
membawa perubahan yang positif. Untik menerima atau menolak ide pembaharuan,
mereka mencari pelopor yang mewakili mereka dalam menggapai pembaharuan itu.
3.
Tipe
pengikut dini, yaitu masyarakat sederhana yang kadang-kadang kurang siap
mengambil resiko dan umumnya lemah mental. Kelompok masyarakat ini umumnya
adalah kelompok kelas dua di masyarakatnya, mereka perlu seorang pelopor dalam
mengambil tugas kemasyarakatan.
4.
Tipe
pengikit akhir, yaitu masyarakat yang ekstra hati-hati sehingga berdampak
kepada anggota masyarakat yang skeptis terhadap sikap pembaharuan, karena
faktor kehati-hatian yang berlebihan, maka setiap gerakan pembaharuan
memerlikan waktu dan pendekatan yang sesuai untuk bisa masuk.
5.
Tipe
kolot, ciri-cirinya, tidak mau menerima pembaharuan sebelum mereka benar-benar
terdesak oleh lingkungannya.
Mad’u bisa juga
dilihat dari segi kemampuan berfikirnya sebagai berikut :
1.
Umat
yang berfikir kritis, yaitu orang-orang yang berpendidikan, yang selalu
berfikir mendalam sebelum menerima sesuatu yang dikemukakan kepadanya.
Umat yang mudah dipengaruhi, yaitu masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh paham baru tanpa mempertimbangkan secara mantap apa yang dikemukakan padanya.
Umat yang mudah dipengaruhi, yaitu masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh paham baru tanpa mempertimbangkan secara mantap apa yang dikemukakan padanya.
2.
Umat
bertaklid, yaitu golongan yang fanatik, buta brerpegang pada tradisi, dan
kebiasaan turun-temurun tempat menyelidiki kebenarannya.[3]
B. MENGENAL STRATA MAD’U
Salah
satu tanda kebesaran Allah di alam ini adalah keragaman makhluk ang bernama
manusia, Allah SWT. berfirman :
$pkš‰r'¯»tƒ
â¨$¨Z9$#
$¯RÎ)
/ä3»oYø)n=yz
`ÏiB
9x.sŒ
4Ós\Ré&ur
öNä3»oYù=yèy_ur
$\/qãèä©
Ÿ@ͬ!$t7s%ur
(#þqèùu‘$yètGÏ9
4
¨bÎ)
ö/ä3tBtò2r&
y‰YÏã
«!$#
öNä39s)ø?r&
4
¨bÎ)
©!$#
îLìÎ=tã
׎Î7yz
ÇÊÌÈ
“Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat:13)
Ayat
ini menjelaskan kepada kita bahwa keragaman jenis kelamin, suku, bangsa, warna
kulit dan bahasa sebagai tanda kebesaran Allah yang perlu diteliti dengan
seksama untuk mengenal lebih dekat tipologi manusia untuk selanjutnya
menentukan pola interaksi buat masing-masing kelompok yang berbeda. Mengenal
tipologi manusia adalah salah satufaktor penentu suksesnya tugas dakwah, dan
merupakan salah satu fenomena alam yang hanya bisa ditangkap oleh orang alim.
1. Mengenal Strata Mad’u Sebagai
Landasan Normatif
Salah
satu makna hikmah dalam berdakwah adalah menempatkan manusia sesuai dengan
kadar yang telah ditetapkan Allah. Di sat terjun ke sebuah komunitas, atau
melakukan kontak engan seorang mad’u, da’i yang baik harus mempelajari terlebih
dahulu data riil tentang komunitas atau pribadi yang bersangkutan.
Hasan al Bashri berkata: “tidak ada seorang alim pun kecuali
di atasnya orang alim lagi sampai berakhir kepada Allah.” Ayat ini memberikan
informasi kepada kita bahwa kadar ilmu pengetahuan manusia bertingkat.
Informasi ini sekaligus isyarat kepada kita bagaimana membangun komunikasi
dengan level manusia tersebut.
2. Mengenal Rumpun Mad’u
Tidak ada kesepakatan di antara peneliti dakwah tentang
jumlah dari rumpun mad’u. Beberapa pendapat yang dapat kami himpun sebagai
berikut :
Di awal surah al-Baqarah, mad’u
dikelompokkan dalam tiga rumpun, yaitu: mukmin, kafir dan munafiq. Mujahid
berkata : “empat ayat di surah al-Baqaarah mendeskripsikan tentang sifat orang
mukmin, dua ayat mendeskripsikan sifat orang kafir, dan tiga belas ayat
berikutnya mendeskripsikan sifat orang munafiq…”.
Dalam istilah M. Natsir, kelompok
mad’u ada tiga, yaitu : “kawan yang setia sehidup semati, dari awal sampai
akhir,dan lawan yang ecara terang-terangan memusuhinya dari awal sampai akhir;
dan lawan yang bermain pura-pura menjadi kawan, samnil menunggu saat untuk
menikan dari belakang”.
Secara umum mad’u menurut Imam Habib
Abdullah Haddad dapat dikelompokkan dalam delapan rumpun, yaitu :
1.
Para ulama
2.
Ahli zuhud dan ahli ibadah
3.
Penguasa dan pemerintah
4.
Kelompok ahli
perniagaan, industri dan sebagainya
5.
Fakir miskin dan
orang lemah
6.
Anak istri, dan kaum hamba
7.
Orang awam yang taat dan yang berbuat maksiat
8.
Orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
C. KONSEP AL-QURAN DALAM MENYIKAPI
RESPON MAD’U
Bahasa dakwah yang diperintahkan
Al-Quran sunyi dari kekasaran, lembut, indah, santun, juga membekas pada jiwa,
memberi pengharapan hingga mad’u dapat dikendalikan dan digerakkan perilakunya
olah da’i. Term Qoulan Sadida merupakan persyaratan umum suatu pesan dakwah
agar dakwah persuasif memilih kata yang tepat mengenai sasaran sesuai dengan
field of experience dan frame of reference komunikan telah dilansir dalam
beberapa bentuk oleh al-Quran diantaranya:
1. Qoulan Baligha (perkataan yang
membekas pada jiwa)
Ungkapan Qoulan Baligha terdapat
pada surah an-Nisa ayat 63 dengan firmannya:
÷bÎ)ur
÷LäêøÿÅz
žwr&
(#qäÜÅ¡ø)è?
’Îû
4‘uK»tGu‹ø9$#
(#qßsÅ3R$$sù
$tB
z>$sÛ
Nä3s9
z`ÏiB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
4Óo_÷WtB
y]»n=èOur
yì»t/â‘ur
(
÷bÎ*sù
óOçFøÿÅz
žwr&
(#qä9ω÷ès?
¸oy‰Ïnºuqsù
÷rr&
$tB
ôMs3n=tB
öNä3ãY»yJ÷ƒr&
4
y7Ï9ºsŒ
#’oT÷Šr&
žwr&
(#qä9qãès?
ÇÌÈ
“mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa
yang di dalam hai mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah
mereka pelajaran, dan katakanlah kepada merekaperkataan yang berbekas pada jiwa
mereka.”
Yang dimaksud ayat di atas adalah
perilaku orang munafik. Ketika diajak untuk memahami hukum allah, mereka
menghalangi orang lain untuk patuh (ayat 61). Kalau mereka mendapat musibah
atau kecelakaan karena perbuatan mereka sendiri, mereka datang mohon
perlindungan atau bantuan. Mereka inilah yang perlu dihindari, diberi
pelajaran, diberi pelajaran, atau diberi penjelasan dengan cara yan
berbekassatau ungkapan yang mengesankan. Karena itu, Qoulan Baligha dapat
diterjemahkan ke dalam komunikasi yang efektif yang bisa menggugah jiwanya.
Bahasa yang dipakai adalah bahasa yang akan mengesankan atau membekass pada
hatinya. Sebab di hatinya banyak dusta, khianat dan ingkar janji. Kalau hatinya
tidak tersentuh sulit menundukkannya.
Jalaluddin Rahmat memerinci
pengertian qoulan baligha tersebut menjadi dua, qoulan baligha terjadi bila
da’i (komunikator) menyesuaikan pembicarannya dengan sifat-sifat khalayakyang
dihadapinya sesuai dengan frame of reference and field of experience. Kedua,
qoulan baligha terjadi bila komunikator menyentuh khalayaknyapada hati dan
otaknya sekaligus.
2. Qoulan Layyinan (perkataan yang
lembut)
Term qoulan layyinan terdapat dalam
surah Thaha ayat 43-44 secara harfiyah berarti komunikasi yang lemah lembut
(Layyin).
!$t6ydøŒ$#
4’n<Î)
tböqtãöÏù
¼çm¯RÎ)
4ÓxösÛ
ÇÍÌÈ Ÿwqà)sù
¼çms9
Zwöqs%
$YYÍh‹©9
¼ã&©#yè©9
ã©.x‹tFtƒ
÷rr&
4Óy´øƒs†
ÇÍÍÈ
“pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia
telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanyaengan kata-kata
yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha ayat
43-44)
Berkata lembut tersebut adalah
perintah Allah kepada Nabi Musa dan Harun supaya menyampaikan Tabsyier dan
Inzar kepada Fir’aun dengan “Qoulan Layyinan”karena ia telah menjalani
kekuasaan melampaui batas, Musa dan Harun sedikit khawatir menemui Fir’aun yang
kejam. Tetapi Allah tahu dan memberi jaminan
“Allah berfirman: “Janganlah kamu berdua khawatir,
sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku Mendengar dan Melihat.” (QS.
Thaha:46)
Berhadapan dengan penguasa yang
tiran, al-Qur’an mengajarkan agar dakwah kepada mereka haruslah bersifat sejuk
dan lemah lembut , tidak kasar dan lantang, perkataan yang lantang kepada
penguasa tiran dapat memancing respon yamng lebih keras dalam waktu spontan,
sehingga menghilangkan peluang untuk berdialog atau komunikasi antar kedua
belah pihak, da’i dan penguasa sebagai mad’u.
3. Qoulan Ma’rufan (Perkataan yang
baik)
Qoulan ma’rufan dapat diterjemahkan
dengan ungkapan yang pantas. Salah satu pengertian ma’rufan secara etimologis
adalah al-khaer atau ihsan, yang berarti yang baik-baik. Jadi qoulan ma’rufan
mengandung pengertian perkataan atau ungkapan yang pantas dan baik. Di dalam
al-Qur’an ungkapan qoulan ma’rufan ditemukan pada surah al-Baqarah 2:235, 2
ayat pada surah an-Nisa ayat 5 dan 8, serta satu ayat lagi terdapat pada surah
al-Ahzab ayat 32. Semua ayat ini turun pada periode Madinah seperti
diketahuikomunitas Madinah lebih heterogen ketimbang Makkah. Dalam ayat 235
surah al-Baqarah ini qoulan ma’rufan mengandung beberapa pengertian antara lain
rayuan halusterhadap seorang wanita yang ingin dipinang untuk istri. Jadi, ini
merupakan komunikasi etis dalam menimbang perasaan wanita, apalagi wanita yang
diceraikan suaminya. Dalam ayat 5 surah an-Nisa ‘ qoulan ma’rufan berkonotasi
kepada pembicaraan-pembicaraan yang pantas bagi seorang yang belumdewasa atau
cukup akalnya atau orang dewasa tetapi tergolong bodoh. Kedua orang ini tentu
tidak siap menerima perkataan bukan ma’rufkarena otaknya tidak cukup siap
menerima apa yang disampaikan, justru yang menonjol adalah emosinya.
Sedangkan pada ayat 8, surat yang
sama lebih mengandung arti bagaimana menetralisir perasaan famili anak yatim,
dan orang miskin yan hadir ketika ada pembagian warisan. Meskipun mereka tidak
tercantumdalam daftar sebagai yang berhak menerima warisan. Namun, Islam
mengajarkan agar mereka diberi sekadarnya dan diberi dengan perkataan yang
pantas. Artinya, jika diberi tetpi diiringi dengan perkataan yang tidak pantas,
tentu perasaan mereka tersinggung atau terhiba hati, apalagi tidak diberi
apa-apaselain ucapan-ucapan kasar.
Pada ayat 32 durah al-Ahzab qoulan
ma’rufan berarti tuntunan kepada wanita istri Rasul agar berbicara yang
wajar-wajarsaja tidak perlu bermanja-manja, tersipi-sipu, cengeng, atau sikap
berlebihanyng akan mengundang nafsu birahilawan bicara.
Jalaluddin Rahmat menjelaskan bahwa qoulan ma’rufan adalah perkataan yang baik. Allah menggunakan frase ini ketika bicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau orang kuat terhadap orang-orang yang miskinatau lemah. Qoulan ma’rufan berartipembicaraan yang bermanfaat, memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukkan pemecahan terhadap kesulutan kepada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara material, kita harus dapat membantu psikologi.
Jalaluddin Rahmat menjelaskan bahwa qoulan ma’rufan adalah perkataan yang baik. Allah menggunakan frase ini ketika bicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau orang kuat terhadap orang-orang yang miskinatau lemah. Qoulan ma’rufan berartipembicaraan yang bermanfaat, memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukkan pemecahan terhadap kesulutan kepada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara material, kita harus dapat membantu psikologi.
4. Qoulan Maisura (Perkataan yang
ringan)
Istilah qoulan maisura tersebut
dalam al-Isra.kalimat al-Isra berasal dari kata yasr, yang artinya mudah. Qoulan
maisura adalah lawan dari kata ma’sura, perkataan yang sulit. Sebagai bahasa
komunikasi, qoulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, dan ringan,
yang pantas, yang tidak berliku-liku. Dakwah dengan qoulan maisura artinya
pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat dipahami
secara spontan tanpa harus berpikir dua kali. Pesan dakwah model ini tidak
memerlikan dalil naqli maupun argumen-argumen logika.
Dakwah dengan pendekatan Qoulan Maisura harus menjadi
pertimbangan mad’u yang dihadapi itu terdiri dari:
a. Orang tua atau kelompok orang tua
yang merasa dituakan, yang sedang menjalani kesedihan lantaran kurang bijaknya
perlakuan anak terhadap orang tuanya atau oleh kelompok yang lebih muda.
b. Orang yang tergolong di dzalimi haknya
oleh orang-orang yang lebih kuat.
Masyarakat yang secara sosial berada di bawah garis kemiskinan, lapisan masyarakat tersebut sangat peka dengan nasihat yang panjang, karenanya da’i harus memberikan solusi dengan membantu mereka dalam dakwah bil hal.
Masyarakat yang secara sosial berada di bawah garis kemiskinan, lapisan masyarakat tersebut sangat peka dengan nasihat yang panjang, karenanya da’i harus memberikan solusi dengan membantu mereka dalam dakwah bil hal.
5. Qoulan Karima (Perkataan yang Mulia)
Dakwah dengan qoulan karima
sasarannya adalah orang yang telah lanjut usia, pendekatan yang mulia, santun,
penuh penghormatan dan penghargaantidak menggurui tidak perlu retorika yang
meledak-ledak. Term qoulan karima terdapat dalam surat al-Isra ayat 23.
Dalam perspektif dakwah maka term pergaulan qoulan karima diperlakukan jika dakwah itu ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia lanjut, seorang da’i dalam perhubungan dengan lapisan mad’u yang sudah masuk usia lanjut, haruslah bersikap seperti terhadap prang tua sendiri, yakni hormat adab tidak berkata kasar kepadanya, karena manusia meskipun sudah mencapai usia lanjut, bisa saja berbuat salah, atau melakukan hal-hal yang sesat menurut ukuran agama. Sementara itu kondisi fisik mereka yang mulai melemah membuat mereka mudah tersinggung dan pendekatan dakwah terhadap orang tersebut telah dilandasi dalam al-Qur’an dengan term qoulan karima.[4]
Dalam perspektif dakwah maka term pergaulan qoulan karima diperlakukan jika dakwah itu ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia lanjut, seorang da’i dalam perhubungan dengan lapisan mad’u yang sudah masuk usia lanjut, haruslah bersikap seperti terhadap prang tua sendiri, yakni hormat adab tidak berkata kasar kepadanya, karena manusia meskipun sudah mencapai usia lanjut, bisa saja berbuat salah, atau melakukan hal-hal yang sesat menurut ukuran agama. Sementara itu kondisi fisik mereka yang mulai melemah membuat mereka mudah tersinggung dan pendekatan dakwah terhadap orang tersebut telah dilandasi dalam al-Qur’an dengan term qoulan karima.[4]
Dengan demikian heteroginitas
manusia penerima dakwah dalam segi latar belakang sosio ekonomi, agama, budaya,
tingkat pengetahuan, kwalitas kwesantrian, serta heterogen dalam bentuk
komunikasi kelompoknya. Kesemuanya ini harus dicermati setiap da’i agar dakwa
yang dijalankannya lebih komunikatif. Dengan penggunaan metodologi analisis
psikologis untuk mengetahui tipologidan klasifikasi masyarakat. Serta kemampuan
berfikir terhadap sasaran dakwah secara tepat, sebab setiap sasaran atau objek
dakwah memiliki suatu ciri-ciri tersendiri yang memerlukan suatu kebijakan dakwah
dalam penyampaian, baik menyangkut masalah metodologis maupun kerangka
konseptualnya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat
penulis ambil adalah Objek dakwah dibedakan menjadi dua : umat ijabah dan umat
dakwah.
Berdasarkan data-data rumpun mad’u ,
dapat dikelompokkan dengan lima tinjauan, yaitu:
a. Mad’u ditinjau dari segi penerimaan
dan penolakan ajaran Islam, terbagi dua, yaitu muslim dan non-muslim
b. Mad’u ditinjau dari segi tingkat
pengalaman ajaran agamanya, terbagi tiga, dzalimun linafsih, muqtashid dan
sabiqun bilkhaerat.
c. Mad’u ditinjau dari tingkat
pengetahuan agamanya, terbagi tiga, ulama, pembelajar dan awam
d. Mad’u ditinjau dari struktur
sosialnya, terbagi tiga; pemerintah (al-Mala’), masyarakat maju (al-Mufrathin)
dan terbelakang (al-Mustadh’afin).
e. Mad’u ditinjau dari priorotas
dakwah, dimulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, dst
Konsep al-Qur’an dalam menyikapi
respon mad’u:
a.
Orang munafik dan kafir : perkataan yang membekas di hati
qoulan baligha, terdapat dalam QS. An-Nisa:63
b.
Penguasa Tiran : perkataan yang sejuk dan lembut. Qoulan
layyinan, terdapat dalam QS. Thaha:43-44
c.
Kelompok tertindas atau rakyat. Orang yang dituakan tetapi
sudah ketinggalan zaman. Orang yang teraniaya. Masyarakat kumuh di tengah kemakmuran
kota : perkataan yang ringan qoulan maisura, terdapat dalam QS. Al-Isra:28
d.
Manusia lanjut usia atau pensiunan : perkataan yang mulia
qoulan karima, terdapat dalam QS. Al-Isra’:23
B. SARAN
Diharapkan bagi masyarakat Islam
secara umum, khususnya kalangan akademisi dakwah dan aktivis dakwah agar dapat
mengisi khazanah perbendaharaan buku-buku keislamantentang dakwah Islam, untuk
dijadikan bahan referensidalam melaksanakanatau mengembangkan dakwah.
DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Cliffort. The Religion Of Java.
H.M.
Arifin. 1994. PSIKOLOGI DAKWAH, (Jakarta:
Bumi Aksara).
Razak,
Nasaruddin. 1976. Metodologi Dakwah, (Semarang: Toha Putra).
0 komentar:
Posting Komentar